color: #FFCC00; text-decoration: none; } li { list-style-position: outside; list-style-type: square; } .isikanan { padding: 2px; } textarea, input, select, option, button { font-family: Tahoma, Verdana, Arial; background-color : #E1DDC1; color : #333333; font-size : 10px; border: 1px solid #CCC8AD; } img } .kiri { background-attachment: scroll; background-image: url(http://img98.imageshack.us/img98/381/isnainiblogtemplate13r1c1pw0.jpg); background-repeat: repeat-x; background-position: left top; } .kanan { background-image: url(http://img137.imageshack.us/img137/9149/isnainiblogtemplate13r1c3vw3.jpg); background-repeat: repeat-x; background-attachment: scroll; background-position: left top; } Coret-coret bersama Dilla: membaca ceritaku yook!! color: #FFCC00; text-decoration: none; } li { list-style-position: outside; list-style-type: square; } .isikanan { padding: 2px; } textarea, input, select, option, button { font-family: Tahoma, Verdana, Arial; background-color : #E1DDC1; color : #333333; font-size : 10px; border: 1px solid #CCC8AD; } img } .kiri { background-attachment: scroll; background-image: url(http://img98.imageshack.us/img98/381/isnainiblogtemplate13r1c1pw0.jpg); background-repeat: repeat-x; background-position: left top; } .kanan { background-image: url(http://img137.imageshack.us/img137/9149/isnainiblogtemplate13r1c3vw3.jpg); background-repeat: repeat-x; background-attachment: scroll; background-position: left top; }
 
 
Sabtu, 23 Februari 2008
membaca ceritaku yook!!
Ayu sahabatku
Minggu agak mendung. Dengan enggan Ruri melangkah ke warung. Ibu menyuruh membeli tomat. Ketika berbelok ke jalan Merak, Ruri tertegun. Rumah nomor 2 dari ujung kanan tampak sibuk. Agaknya ada penghuni baru yang akan menempati rumah berpagar kuning itu. Sambil lalu Ruri memperhatikan orang-orang yang sibuk mengangkut barang. Seorang gadis berkepang dua muncul dari pintu samping. Ia membawa kardus coklat. Ruri terpana. Rasa-rasanya ia mengenali gadis itu. Bukankah itu Ayu? “Ayu!” pekik Ruri girang. Mendengar seseorang menyebut namanya gadis itu terkejut. “Ruri! Baru saja aku mau cari rumahmu. Ini ada titipan dari kakekmu,” ujar Ayu seraya mengangsurkan kardus. “Kau akan tinggal di rumah ini?” “Ya.” “Kenapa tidak cerita padaku waktu aku mengunjungi Kakek minggu lalu?” tanya Ruri kecewa. Ayu, sahabatnya itu tinggal di sebelah rumah Kakek. “Maaf. Aku sengaja merahasiakan ini karena ingin membuat kejutan untukmu. Nah, sekarang aku menjadi tetanggamu. Besok aku menjadi teman sekelasmu.” “Kau? Idih jahat!” teriak Ruri seraya mencubit Ayu gemas. Sejak itu persahabatan Ruri dan Ayu semakin erat. Setiap sore Ayu belajar di rumah Ruri. Banyak materi pelajaran yang belum diberikan di sekolah Ayu sebelumnya. Jadi ia harus belajar lebih keras agar tidak tertinggal dari teman-temannya. Ruri dengan senang hati mengajari Ayu. Ruri pun tidak segan-segan menemani Ayu ke mana-mana. Ayu belum mengenal sudut-sudut kota ini. Jadi Ruri siap memberikan pertolongan bila Ayu membutuhkan. Pagi itu Ruri sedang menyisir rambut ketika Ayu mengetuk pintu. “Ri, tolong dong. Aku belum mengerjakan PR IPA. Semalam aku capai sekali. Pinjam pekerjaanmu, ya.” Ruri tersentak mendengar permintaan Ayu. Rasanya ia ingin marah. Ruri paling tidak suka pada teman yang mencontek PR-nya. “Tolong aku, Ri! Sekali ini saja. Janji deh!” Ayu memohon. Dengan menahan kecewa Ruri menyerahkan buku PR-nya. “Ah, Ayu kan berjanji hanya untuk kali ini,” hibur Ruri terhadap dirinya sendiri. Ia berusaha menghibur kekecewaaannya dalam-dalam. Sebulan telah berlalu. Ruri sudah melupakan peristiwa itu. Namun kembali Ayu mengecewakan Ruri. Ia tidak membawa kertas lipat ketika pelajaran ketrampilan. Padahal semingu sebelumnya Bu Ani sudah meminta para siswa mencatat peralatan yang harus dibawa saat pelajaran ketrampilan. “Kenapa kau tidak membawa sendiri?” tanya Ruri sengit. “Aku lupa belum beli. Aku pikir minta kamu dulu kan tidak apa-apa. Nanti aku ganti,” jawab Ayu enteng. Ruri kesal sekali. Ternyata kesediannya membantu Ayu selama ini telah menyebabkan Ayu bergantung kepadanya. Ruri memang senang membantu. Namun bila kemudian menjadi tempat bergantung, tentu saja ia tidak suka. Aku harus berterus terang pada Ayu, tekad Ruri. Tapi kalau Ayu marah bagaimana? “Huh!” dengus Ruri kesal. “Kenapa, Ri?” tanya Ayu. Tanpa sengaja Ruri mendengus terlalu keras agaknya. “Ah, tidak apa-apa,” jawab Ruri menutupi. “Kamu kesal aku minta kertasmu, ya? Nanti aku ganti, Ri. Berapa harganya sih?” Ruri menatap Ayu. Dengan ragu ia pun berkata pelan. “Harga kertas itu tidak seberapa, Yu. Tapi….” “Lalu apa?” “Aku tidak suka kau selalu bergantung padaku. Sampai-sampai PR pun kau mencontek pekerjaanku. Itu akan merugikan dirimu sendiri.” Ayu terbelalak. Ucapan Ruri betul-betul menghujam hatinya. Tapi, itu semua karena Ruri memperhatikannya. Ayu malu sekali. “Maafkan aku, Ri! Mulai saat ini aku akan berusaha untuk tidak selalu mengharapkan pertolonganmu,” ujar Ayu lirih. Ruri tersenyum. Ia menepuk pundak Ayu. Betapa leganya Ruri. Ternyata berterus terang pada saat yang tepat itu lebih baik daripada menyimpan masalah.
karya:Adila nurul ilma

Balon keinginan
Setiap warga kerajaan Khayali bisa mendapatkan apa saja yang mereka inginkan. Di sebelah timur istana Raja Don ada sebuah ruangan ajaib. Kamar Keinginan namanya. Kamar itu sangat luas. Di langit-langitnya yang tinggi terdapat Balon-Balon Keinginan berwarna-warni. Besar, kecil, berterbangan dan bergerak bebas. Permukaaan balon-balon itu berkilauan. Kalau saling bertabrakan akan memantul-mantul. Setiap warga Khayali boleh memasuki kamar itu. Jika membayar dua keping, mereka bisa menyewa alat penangkap balon. Warga tidak boleh membawa alat sendiri. Berbagai macam balon keinginan ada di situ. Asal sabar, siapa saja bisa meraih balon-balon tersebut. Balon berisi keinginan yang mudah dikabulkan biasanya melayang lebih rendah. Gerakannya juga lebih lamban. Tipo kecil adalah warna kerajaan Khayali. Ia sering berkhayal memiliki dua keping uang. Ia ingin menangkap balon “Pembuat PR”. Supaya ia tak perlu mengerjakan PR-nya setiap hari. Namun, Tipo merasa heran melihat ayahnya. Ayah Tipo, Pak Seblu, tidak tertarik pada balon keinginan. Pada suatu hari, Pak Seblu dipanggil menghadap Raja Don. Raja Don memerintahnya untuk membuat Gapura Istana yang baru. Gapura itu harus lebih bagus dan megah. Pak Seblu memang sudah biasa merancang rumah dan taman. Tapi baru kali ini mendapat pesanan dari Raja. Pak Seblu senang, tapi juga gugup dan takut akan mengecewakan Raja Don. Tiga hari Pak Seblu melamun saja di bawah pohon halaman Istana. Kertas dan pena tergeletak di sampingnya. Setelah itu, Pak Seblu mengurung diri di ruang kerjanya. Hanya sesekali ia keluar. Kumis dan jenggotnya memanjang tak terurus. Tipo kesepian, karena biasanya ia bercanda dan mengobrol dengan ayahnya. Untung ibunya tahu kesepian hati Tipo. Setiap sore, saat ayahnya di ruang kerja, Tipo berjalan-jalan dengan Ibu. “Bu, kenapa Ayah tidak mengambil saja balon keinginan “Gapura Baru Istana”? Supaya Ayah tak perlu susah-susah bekerja.” Ibu tersenyum sedikit, lalu berkata, “Tipo, jawaban pertanyaan itu harus kamu temukan sendiri. Semua warga negeri ini harus menemukan jawaban masalahnya sendiri. Kalau belum mendapatkannya, dia tidak akan pernah menjadi dewasa.” Mendengar jawaban itu, Tipo hanya diam. Ia tidak mengerti maksud perkataan ibunya. Suatu sore, Tipo mengisi waktunya dengan menyusun pasel dari Paman Miwin. Pasel kayu itu susah sekali. Tapi menurut gambar petunjuknya, pasel itu akan membentuk gambar jembatan gantung yang indah sekali. Esoknya, ayah Tipo sudah bercukur rapi. Dengan wajah berseri Pak Seblu berkata bahwa gambar rancangannya sudah selesai. Sambil sarapan ayah Tipo berkata ia akan menghadap Raja. Tipo senang sekali. “Ah, Ayah akan segera bisa menemaniku membuat pasel itu,” pikirnya. Di jalan sepulang sekolah Tipo menemukan sekeping uang. “Wow, ini hari keberuntunganku,” serunya. Tetapi di rumah, Ayah belum pulang dari istana. Sampai petang juga belum. Akhirnya ketika Tipo sudah mengatuk barulah Ayah pulang. Rupanya Raja Don menyetujui rancangan Pak Seblu. Dan langsung menyuruh Pak Seblu untuk mempersiapkan bahan bangunan dan pekerjanya. Tipo tidur dengan gelisah. “Ayah pasti akan sibuk lagi sampai Gapura itu selesai,” keluhnya. Bangun tidur, dipandanginya pazel yang setengah jadi itu. Rasanya Tipo ingin menendangnya. Mula-mula ia memang senang mengerjakannya. Tetapi sekarang ia menemukan bagian yang sulit. Tipo ingin dibantu ayahnya. Sambil bersiap ke sekolah Tipo melamun. Lalu, “Aha, aku tahu!” Ia berlari menemui Ibu dan meminta uang, “Satu kepiiiiing, saja Bu, boleh ya?” rayunya. Ibu ingin menggembirakan hati Tipo, jadi ia memberikan satu keping. Tipo punya rencana. Sepulang sekolah, ia pergi ke Kamar Keinginan. Ia ingin menangkap balon “Gapura Baru Istana” supaya tugas Bapak segera selesai. Dimasukinya Kamar Keinginan itu dengan takjub. Kamar itu lebih indah dari cerita orang kepadanya. Pak Penjaga tersenyum-senyum melihat Tipo masih melongo. “Nak, ini tangga dan jaringnya. Maaf, saya hanya boleh membantu sampai di pintu saja”, katanya. “Selamat, semoga keinginanmu tercapai, Nak.” Lalu ditutupnya pintu besar itu. Bam! Tipo repot menggeret tangga dan mengempit jaring yang lebih panjang dari tubuhnya. Dipanjatnya tangga di tengah ruangan. Matanya mencari-cari. Tak lama kemudian ia melihat balon “Gapura” sedang melayang menjauh. Susah payah diraihnya dengan jaring. Tidak berhasil. Dilihatnya balon “Pembuat PR” lewat. Dia tak mau balon itu. Tipo akhirnya merasa lelah. Ia berbaring di lantai, beristirahat. Kemudian dicobanya lagi. Sampai pegal leher dan lengannya, tapi balon “Gapura” itu tak juga tertangkap. Ia tak mau menyerah. Ia ingin membebaskan ayahnya dari kerja kerasnya. Akhirnya yang tertangkap malah balon kecil bertulisan “Pasel Selesai”. Ingin dilepasnya lagi balon ini, dan menangkap balon “Gapura” itu. Tapi dia sudah sangat lelah. Diputuskannya untuk membawa balon itu pulang. Daripada uang dua kepingnya habis percuma. Sampai di rumah, Ibu dan Ayah sudah cemas menunggunya. Mereka menemani Tipo ke kamarnya. Dan ajaib betul! Pasel jembatan itu sudah jadi! Indah sekali, tapi anehnya Tipo tidak terlalu senang. “Ah, lebih jika aku sendiri yang berhasil menemukan keping pasel yang tepat. Lebih puas!” katanya. “Sudah mulai besar anak kita, ya?” kata Ayah tersenyum pada Ibu. “Sudah tahu kalau bersusah payah mencapai keinginan akan lebih memuaskan.” “Sebetulnya, di Kamar Keinginan itu aku juga bekerja keras, lo, Yah, Bu. Padahal kupikir menangkap Balon Keinginan itu gampang,” celetuk Tipo. Mereka bertiga pun tertawa terbahak-bahak.
karya:Adila nurul ilma

Kampung berwarna paman Niko
Karla merengut. Sudah dua hari ini ia kesal pada mamanya. Sebab Mama belum juga membelikan rumah boneka Barbie, yang sudah lama diinginkannya. Padahal Vidia dan Shiva, teman sekelasnya di SD Nusa Bangsa, sudah memiliki rumah boneka itu. Kemarin Shiva memang mengajak Karla bermain rumah boneka bersama di rumahnya. Tapi Karla malas. Ia ingin memiliki rumah boneka sendiri. Lengkap dengan ruang tamu, kamar boneka dan dapur. Semua serba kecil, mungil, tapi sangat mirip dengan aslinya. Aah, pasti menyenangkan bermain boneka bila ada rumah bonekanya, pikir Karla. Ting Tong! Terdengar bel pintu berbunyi. Tapi Karla sengaja tidak beringsut dari sofa ruang tamu. Dia masih kesal. Akhirnya Mama yang sedang sibuk menyiapkan makan siang di meja makan, terpaksa berjalan menuju pintu. Hm, tebak siapa yang datang? Paman Niko! Ia adik Mama. "Hallo! Karla dimana, Mbak?" tanya Paman Niko pada Mama. Kepalanya celingukan. Biasanya Karla langsung menghambur dan menyambut kedatangan Paman Niko. Tapi kali ini Karla diam saja, biarpun telinganya dipasang baik-baik mendengarkan suara Paman Niko. Karla sangat menyukai adik Mama yang satu ini. Orangnya gembul, rambutnya gondrong dikuncir satu ke belakang. Tapi penampilannya tidak dekil. Paman Niko hobi fotografi. Jadi kemana-mana selalu membawa kamera tele yang digantungkan di lehernya. Paman Niko suka bercanda, Karla betah berlama-lama di dekatnya. Selain itu Paman Niko juga seorang arsitek. Karyanya sudah beberapa yang dibangun. Karla sangat kagum padanya. "Tuh, keponakanmu sedang ngambek, di ruang tamu. Minta dibelikan rumah boneka Barbie. Aku pikir, kan, sayang uangnya. Sebentar lagi Karla pasti bosan. Dia kan sudah mulai besar. Masa' mau main boneka terus," suara Mama terdengar samar-samar. Lalu suara langkah kaki Paman Niko. Mama menutup kembali pintu depan. "Ho ho ho! Siapa itu, ngumpet di pojok sofa?" seru Paman Niko begitu melihat Karla yang melungkar di ujung sofa. Karla tersenyum senang. Ingin langsung menghambur ke gendongan Paman Niko seperti biasanya. Tapi ia merasa malu pada Mama. Masak baru saja ngambek, tahu-tahu sudah tertawa-tawa. Aduh, gengsi dong, pikir Karla. "Kenapa anak manis? Paman dengar, hari ini jadwal ngambek ya? Mau rumah boneka ya?" tanya Paman Niko dengan mimik lucu, sambil duduk di sebelah Karla. Karla mulai luluh, cair seperti es batu yang kena sinar matahari. Sementara Mama diam-diam pergi ke ruang makan dengan senyum lega menghiasi bibirnya. "Iya, Paman! Shiva dan Vidia sudah punya, cuma Karla yang belum. Paman Niko bikinkan, dong. Paman kan arsitek. Kalau bisa bikin rumah besar, pasti bisa bikin rumah kecil!" rajuk Karla manja. Paman Niko tertawa, perutnya yang besar terguncang-guncang. "Wah, justru bikin rumah-rumahan boneka itu lebih sulit. Harus ahli, soalnya detilnya kan kecil-kecil. Tapi Paman Niko punya 'rumah-rumahan' lain yang juga cantik, warna-warni, seperti rumah boneka. Malah lebih bagus. Kamu mau lihat tidak?" tawar Paman Niko. Karla mendongak, penasaran. Masa' sih ada rumah-rumahan yang lebih bagus dari rumah boneka? "Ah, yang benar Paman! Dimana?" tanya Karla penasaran. "Ada deh! Kalau Karla mau ikut, hari ini Paman kebetulan mau ke sana," jawab Paman Niko. "Mau, mau. Tapii....." Karla diam sejenak, menggigit bibir. Lalu meneruskan dengan suara pelan. "Apa diijinkan Mama?" "Lo, Karla belum tahu ya? Kan Mama yang telpon Paman, dan menyuruh mengajak kamu. Sekarang, pamit saja pada Mama, terus ganti baju," jawab Paman Niko dengan senyum mengembang. Karla tak ragu lagi, langsung terbang ke ruang makan, mencari Mama. "O iya. Jangan lupa bawa pensil warna atau krayon, ya, sekalian..." ujar Paman Niko lagi. Karla berbalik sebentar. "Lo, buat apa?" mimiknya terlihat bingung. "Ada deh! Sudah, cepat! Nanti juga kamu tahu..." Paman Niko menyipitkan sebelah matanya. Karla tersenyum, meski benaknya masih dipenuhi tanda tanya. Beberapa saat kemudian… Karla turun dari mobil Paman Niko dengan bingung. Karla mengamati keadaan sekelilingnya dengan seksama. Sementara Paman Niko mengisi rol film ke dalam kameranya. Di depannya adalah sebuah perkampungan kumuh, dengan dinding-dinding dari papan-papan bekas. Mobil mereka tadi sempat melewati tumpukan sampah setinggi bukit. Di situ ada beberapa orang laki-laki bertelanjang dada tampak memilah-milah sampah. Di situ terdapat juga pangkalan becak. Beberapa pengemudi becak sedang duduk-duduk di atas becak menunggu penumpang. "Ayo, Karla," ajak Paman Niko. Karla membuntut di belakang Paman Niko. Dengan ramah Paman Niko menyapa pengayuh-pengayuh becak itu. Mereka kelihatannya sudah akrab. Ternyata kampung itu berupa sebuah jalan setapak kecil. Di sisi-sisi jalan itu padat dengan rumah-rumah berdinding papan. Dindingnya di cat berwarna-warni oleh penghuninya. Yang mengherankan Karla, selain penduduk kampung yang sibuk hilir mudik melakukan kegiatannya, ada segerombolan remaja berpakaian kaos dan jeans. Dilihat dari penampilannya, mereka bukan penghuni kampung itu. "Mereka siapa, Paman?" tanya Karla heran. "Itu kakak-kakak mahasiswa jurusan arsitektur yang membantu penduduk mengecat kampung ini, Karla. Mereka juga yang mendekati para penduduk supaya mau mengecat rumahnya. Semua itu dalam rangka Jakart," jawab Paman Niko. "Apa sih Jakart itu, Paman?" tanya Karla polos. "Jakart itu festival seni besar yang diselenggarakan selama bulan Juni. Seniman-seniman di berbagai bidang ingin mengenalkan seni pada tiap lapisan masyarakat. Juga pada orang-orang yang tinggal di daerah kumuh seperti ini, Karla. Ini untuk memperingati ulang tahun Jakarta," urai Paman Niko panjang lebar. Karla mengangguk-angguk. Ia sangat bangga karena pamannya mempunyai perasaan sosial yang besar. Karla jadi malu sendiri ketika melihat anak-anak sebayanya harus tinggal di rumah sederhana. Padahal ia baru saja merengek minta dibelikan rumah boneka yang mahal pada mamanya. Seharusnya ia bersyukur tinggal di rumah yang bagus. Setiap hari ke sekolah diantar sopir, dan makan makanan enak. "Karla, belum pernah naik getek, kan?" tanya Paman Niko. Karla menggeleng. "Di belakang rumah-rumah ini ada kali kecil. Nanti kita ke seberang kali ya, naik getek," ujar Paman Niko. Karla mengangguk girang. Lalu ia dengan Paman Niko berjalan melintasi jalan setapak itu. Orang-orang yang bertemu mereka menyapa ramah. Sekitar lima puluh meter kemudian, di antara kepadatan rumah-rumah tersebut terlihat sebuah tempat lapang. Ujungnya seperti dermaga dari bilah-bilah papan. Ternyata benar kata Paman Niko. Di belakang rumah-rumah itu ada kali yang lebarnya kira-kira tiga belas meter. Airnya keruh berwarna coklat. Sebuah perahu kayu eretan bersandar di dermaga kecil. Pengemudinya tampak mengantuk. Yang unik, perahu itu tidak dikayuh. Ada tali di antara ujung perahu dan kabel yang terbentang di antara kedua sisi sungai. Jadi si pengemudi perahu tinggal mengeret perahunya menyeberangi sungai. Karla senang sekali, karena ini pengalamanan pertamanya menaiki perahu eretan. "Ujung sungai ini bermuara di Tanjung Priuk. Lihat tuh, dari sini kita bisa melihat jembatan layang Pluit. Nah, kampung ini sengaja dicat warna warni. Terutama yang menghadap jembatan layang itu. Supaya tamu-tamu yang baru datang dari bandara dan melintasi jembatan layang ini melihat pemandangan yang menarik," Paman Niko sibuk menjelaskan. "Apa nama kampung ini, Paman?" "Nama aslinya Kampung Tanggul Indah. Tapi nama proyeknya Kampung Berwarna," jawab Paman Niko. Dari seberang memang tampak rumah-rumah panggung di pinggir sungai itu mulai berwarna-warni. Ada beberapa kakak mahasiswa yang menggambari dindingnya dengan gambar bunga matahari, ikan mas koki yang manyun, Dinosaurus... Semuanya bagus. Jam lima sore, Paman Niko mengajak Karla pulang. Sebenarnya Karla masih betah di sana. Malah ia ingin membantu kakak-kakak mahasiswa mengecat kampung itu. "Kita sekarang pulang dulu. Besok Paman janji akan membawa kamu ke sini lagi. Besok kan ada lomba menggambar buat anak-anak kampung sini, kamu boleh ikut," ujar Paman Niko. Karla senang sekali. Besok mungkin ia akan mendapat teman-teman baru, menggambar bersama teman-teman baru. Itu tentu lebih menyenangkan dibanding main boneka sendirian di rumah. Beberapa kakak mahasiswa melambaikan tangan sambil bersenda gurau, ketika Paman Niko dan Karla pamit pulang. Karla sudah tidak sabar ingin menceritakan pengalamannya itu pada Papa dan Mama. Oh, tentu juga pada Vidya dan Shiva. Kini Karla tidak iri lagi pada mereka. Karla tidak akan pernah melupakan pengalamannya hari itu. Berkunjung ke kampung berwarna.
karya:Adila nurul ilma

silakan baca ceritaku!! untuk kamu yang suka baca!!

Label: ,

posted by Dila @ 02.37  
1 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
 
about me
Foto Saya
Nama:
Lokasi: duri, riau, Indonesia

orangnya kalem, agak cerewet, juga suka marah-marah, kalau rahasianya bocor langsung mukulin siapa yang bocorin rahasianya, kalau gak ada permintaannya yang gak dikabulkan dia mau ngancam gak boleh kemana mana selama 123 bulan, apa boleh buat, Dilla adalah anak kelas 2 SD yang lahir di:Jakarta, 2 maret, tahun 2000, hari ini belajarnyaa semakin kurang, hari ini rajin belajar ya!! kalau sudah blog ini dibuat janjilah pada mataharimu untuk belajar!!

Udah Lewat
Archives
sutbok
judul

>


Links
Template by
 
 
Sabtu, 23 Februari 2008
membaca ceritaku yook!!
Ayu sahabatku
Minggu agak mendung. Dengan enggan Ruri melangkah ke warung. Ibu menyuruh membeli tomat. Ketika berbelok ke jalan Merak, Ruri tertegun. Rumah nomor 2 dari ujung kanan tampak sibuk. Agaknya ada penghuni baru yang akan menempati rumah berpagar kuning itu. Sambil lalu Ruri memperhatikan orang-orang yang sibuk mengangkut barang. Seorang gadis berkepang dua muncul dari pintu samping. Ia membawa kardus coklat. Ruri terpana. Rasa-rasanya ia mengenali gadis itu. Bukankah itu Ayu? “Ayu!” pekik Ruri girang. Mendengar seseorang menyebut namanya gadis itu terkejut. “Ruri! Baru saja aku mau cari rumahmu. Ini ada titipan dari kakekmu,” ujar Ayu seraya mengangsurkan kardus. “Kau akan tinggal di rumah ini?” “Ya.” “Kenapa tidak cerita padaku waktu aku mengunjungi Kakek minggu lalu?” tanya Ruri kecewa. Ayu, sahabatnya itu tinggal di sebelah rumah Kakek. “Maaf. Aku sengaja merahasiakan ini karena ingin membuat kejutan untukmu. Nah, sekarang aku menjadi tetanggamu. Besok aku menjadi teman sekelasmu.” “Kau? Idih jahat!” teriak Ruri seraya mencubit Ayu gemas. Sejak itu persahabatan Ruri dan Ayu semakin erat. Setiap sore Ayu belajar di rumah Ruri. Banyak materi pelajaran yang belum diberikan di sekolah Ayu sebelumnya. Jadi ia harus belajar lebih keras agar tidak tertinggal dari teman-temannya. Ruri dengan senang hati mengajari Ayu. Ruri pun tidak segan-segan menemani Ayu ke mana-mana. Ayu belum mengenal sudut-sudut kota ini. Jadi Ruri siap memberikan pertolongan bila Ayu membutuhkan. Pagi itu Ruri sedang menyisir rambut ketika Ayu mengetuk pintu. “Ri, tolong dong. Aku belum mengerjakan PR IPA. Semalam aku capai sekali. Pinjam pekerjaanmu, ya.” Ruri tersentak mendengar permintaan Ayu. Rasanya ia ingin marah. Ruri paling tidak suka pada teman yang mencontek PR-nya. “Tolong aku, Ri! Sekali ini saja. Janji deh!” Ayu memohon. Dengan menahan kecewa Ruri menyerahkan buku PR-nya. “Ah, Ayu kan berjanji hanya untuk kali ini,” hibur Ruri terhadap dirinya sendiri. Ia berusaha menghibur kekecewaaannya dalam-dalam. Sebulan telah berlalu. Ruri sudah melupakan peristiwa itu. Namun kembali Ayu mengecewakan Ruri. Ia tidak membawa kertas lipat ketika pelajaran ketrampilan. Padahal semingu sebelumnya Bu Ani sudah meminta para siswa mencatat peralatan yang harus dibawa saat pelajaran ketrampilan. “Kenapa kau tidak membawa sendiri?” tanya Ruri sengit. “Aku lupa belum beli. Aku pikir minta kamu dulu kan tidak apa-apa. Nanti aku ganti,” jawab Ayu enteng. Ruri kesal sekali. Ternyata kesediannya membantu Ayu selama ini telah menyebabkan Ayu bergantung kepadanya. Ruri memang senang membantu. Namun bila kemudian menjadi tempat bergantung, tentu saja ia tidak suka. Aku harus berterus terang pada Ayu, tekad Ruri. Tapi kalau Ayu marah bagaimana? “Huh!” dengus Ruri kesal. “Kenapa, Ri?” tanya Ayu. Tanpa sengaja Ruri mendengus terlalu keras agaknya. “Ah, tidak apa-apa,” jawab Ruri menutupi. “Kamu kesal aku minta kertasmu, ya? Nanti aku ganti, Ri. Berapa harganya sih?” Ruri menatap Ayu. Dengan ragu ia pun berkata pelan. “Harga kertas itu tidak seberapa, Yu. Tapi….” “Lalu apa?” “Aku tidak suka kau selalu bergantung padaku. Sampai-sampai PR pun kau mencontek pekerjaanku. Itu akan merugikan dirimu sendiri.” Ayu terbelalak. Ucapan Ruri betul-betul menghujam hatinya. Tapi, itu semua karena Ruri memperhatikannya. Ayu malu sekali. “Maafkan aku, Ri! Mulai saat ini aku akan berusaha untuk tidak selalu mengharapkan pertolonganmu,” ujar Ayu lirih. Ruri tersenyum. Ia menepuk pundak Ayu. Betapa leganya Ruri. Ternyata berterus terang pada saat yang tepat itu lebih baik daripada menyimpan masalah.
karya:Adila nurul ilma

Balon keinginan
Setiap warga kerajaan Khayali bisa mendapatkan apa saja yang mereka inginkan. Di sebelah timur istana Raja Don ada sebuah ruangan ajaib. Kamar Keinginan namanya. Kamar itu sangat luas. Di langit-langitnya yang tinggi terdapat Balon-Balon Keinginan berwarna-warni. Besar, kecil, berterbangan dan bergerak bebas. Permukaaan balon-balon itu berkilauan. Kalau saling bertabrakan akan memantul-mantul. Setiap warga Khayali boleh memasuki kamar itu. Jika membayar dua keping, mereka bisa menyewa alat penangkap balon. Warga tidak boleh membawa alat sendiri. Berbagai macam balon keinginan ada di situ. Asal sabar, siapa saja bisa meraih balon-balon tersebut. Balon berisi keinginan yang mudah dikabulkan biasanya melayang lebih rendah. Gerakannya juga lebih lamban. Tipo kecil adalah warna kerajaan Khayali. Ia sering berkhayal memiliki dua keping uang. Ia ingin menangkap balon “Pembuat PR”. Supaya ia tak perlu mengerjakan PR-nya setiap hari. Namun, Tipo merasa heran melihat ayahnya. Ayah Tipo, Pak Seblu, tidak tertarik pada balon keinginan. Pada suatu hari, Pak Seblu dipanggil menghadap Raja Don. Raja Don memerintahnya untuk membuat Gapura Istana yang baru. Gapura itu harus lebih bagus dan megah. Pak Seblu memang sudah biasa merancang rumah dan taman. Tapi baru kali ini mendapat pesanan dari Raja. Pak Seblu senang, tapi juga gugup dan takut akan mengecewakan Raja Don. Tiga hari Pak Seblu melamun saja di bawah pohon halaman Istana. Kertas dan pena tergeletak di sampingnya. Setelah itu, Pak Seblu mengurung diri di ruang kerjanya. Hanya sesekali ia keluar. Kumis dan jenggotnya memanjang tak terurus. Tipo kesepian, karena biasanya ia bercanda dan mengobrol dengan ayahnya. Untung ibunya tahu kesepian hati Tipo. Setiap sore, saat ayahnya di ruang kerja, Tipo berjalan-jalan dengan Ibu. “Bu, kenapa Ayah tidak mengambil saja balon keinginan “Gapura Baru Istana”? Supaya Ayah tak perlu susah-susah bekerja.” Ibu tersenyum sedikit, lalu berkata, “Tipo, jawaban pertanyaan itu harus kamu temukan sendiri. Semua warga negeri ini harus menemukan jawaban masalahnya sendiri. Kalau belum mendapatkannya, dia tidak akan pernah menjadi dewasa.” Mendengar jawaban itu, Tipo hanya diam. Ia tidak mengerti maksud perkataan ibunya. Suatu sore, Tipo mengisi waktunya dengan menyusun pasel dari Paman Miwin. Pasel kayu itu susah sekali. Tapi menurut gambar petunjuknya, pasel itu akan membentuk gambar jembatan gantung yang indah sekali. Esoknya, ayah Tipo sudah bercukur rapi. Dengan wajah berseri Pak Seblu berkata bahwa gambar rancangannya sudah selesai. Sambil sarapan ayah Tipo berkata ia akan menghadap Raja. Tipo senang sekali. “Ah, Ayah akan segera bisa menemaniku membuat pasel itu,” pikirnya. Di jalan sepulang sekolah Tipo menemukan sekeping uang. “Wow, ini hari keberuntunganku,” serunya. Tetapi di rumah, Ayah belum pulang dari istana. Sampai petang juga belum. Akhirnya ketika Tipo sudah mengatuk barulah Ayah pulang. Rupanya Raja Don menyetujui rancangan Pak Seblu. Dan langsung menyuruh Pak Seblu untuk mempersiapkan bahan bangunan dan pekerjanya. Tipo tidur dengan gelisah. “Ayah pasti akan sibuk lagi sampai Gapura itu selesai,” keluhnya. Bangun tidur, dipandanginya pazel yang setengah jadi itu. Rasanya Tipo ingin menendangnya. Mula-mula ia memang senang mengerjakannya. Tetapi sekarang ia menemukan bagian yang sulit. Tipo ingin dibantu ayahnya. Sambil bersiap ke sekolah Tipo melamun. Lalu, “Aha, aku tahu!” Ia berlari menemui Ibu dan meminta uang, “Satu kepiiiiing, saja Bu, boleh ya?” rayunya. Ibu ingin menggembirakan hati Tipo, jadi ia memberikan satu keping. Tipo punya rencana. Sepulang sekolah, ia pergi ke Kamar Keinginan. Ia ingin menangkap balon “Gapura Baru Istana” supaya tugas Bapak segera selesai. Dimasukinya Kamar Keinginan itu dengan takjub. Kamar itu lebih indah dari cerita orang kepadanya. Pak Penjaga tersenyum-senyum melihat Tipo masih melongo. “Nak, ini tangga dan jaringnya. Maaf, saya hanya boleh membantu sampai di pintu saja”, katanya. “Selamat, semoga keinginanmu tercapai, Nak.” Lalu ditutupnya pintu besar itu. Bam! Tipo repot menggeret tangga dan mengempit jaring yang lebih panjang dari tubuhnya. Dipanjatnya tangga di tengah ruangan. Matanya mencari-cari. Tak lama kemudian ia melihat balon “Gapura” sedang melayang menjauh. Susah payah diraihnya dengan jaring. Tidak berhasil. Dilihatnya balon “Pembuat PR” lewat. Dia tak mau balon itu. Tipo akhirnya merasa lelah. Ia berbaring di lantai, beristirahat. Kemudian dicobanya lagi. Sampai pegal leher dan lengannya, tapi balon “Gapura” itu tak juga tertangkap. Ia tak mau menyerah. Ia ingin membebaskan ayahnya dari kerja kerasnya. Akhirnya yang tertangkap malah balon kecil bertulisan “Pasel Selesai”. Ingin dilepasnya lagi balon ini, dan menangkap balon “Gapura” itu. Tapi dia sudah sangat lelah. Diputuskannya untuk membawa balon itu pulang. Daripada uang dua kepingnya habis percuma. Sampai di rumah, Ibu dan Ayah sudah cemas menunggunya. Mereka menemani Tipo ke kamarnya. Dan ajaib betul! Pasel jembatan itu sudah jadi! Indah sekali, tapi anehnya Tipo tidak terlalu senang. “Ah, lebih jika aku sendiri yang berhasil menemukan keping pasel yang tepat. Lebih puas!” katanya. “Sudah mulai besar anak kita, ya?” kata Ayah tersenyum pada Ibu. “Sudah tahu kalau bersusah payah mencapai keinginan akan lebih memuaskan.” “Sebetulnya, di Kamar Keinginan itu aku juga bekerja keras, lo, Yah, Bu. Padahal kupikir menangkap Balon Keinginan itu gampang,” celetuk Tipo. Mereka bertiga pun tertawa terbahak-bahak.
karya:Adila nurul ilma

Kampung berwarna paman Niko
Karla merengut. Sudah dua hari ini ia kesal pada mamanya. Sebab Mama belum juga membelikan rumah boneka Barbie, yang sudah lama diinginkannya. Padahal Vidia dan Shiva, teman sekelasnya di SD Nusa Bangsa, sudah memiliki rumah boneka itu. Kemarin Shiva memang mengajak Karla bermain rumah boneka bersama di rumahnya. Tapi Karla malas. Ia ingin memiliki rumah boneka sendiri. Lengkap dengan ruang tamu, kamar boneka dan dapur. Semua serba kecil, mungil, tapi sangat mirip dengan aslinya. Aah, pasti menyenangkan bermain boneka bila ada rumah bonekanya, pikir Karla. Ting Tong! Terdengar bel pintu berbunyi. Tapi Karla sengaja tidak beringsut dari sofa ruang tamu. Dia masih kesal. Akhirnya Mama yang sedang sibuk menyiapkan makan siang di meja makan, terpaksa berjalan menuju pintu. Hm, tebak siapa yang datang? Paman Niko! Ia adik Mama. "Hallo! Karla dimana, Mbak?" tanya Paman Niko pada Mama. Kepalanya celingukan. Biasanya Karla langsung menghambur dan menyambut kedatangan Paman Niko. Tapi kali ini Karla diam saja, biarpun telinganya dipasang baik-baik mendengarkan suara Paman Niko. Karla sangat menyukai adik Mama yang satu ini. Orangnya gembul, rambutnya gondrong dikuncir satu ke belakang. Tapi penampilannya tidak dekil. Paman Niko hobi fotografi. Jadi kemana-mana selalu membawa kamera tele yang digantungkan di lehernya. Paman Niko suka bercanda, Karla betah berlama-lama di dekatnya. Selain itu Paman Niko juga seorang arsitek. Karyanya sudah beberapa yang dibangun. Karla sangat kagum padanya. "Tuh, keponakanmu sedang ngambek, di ruang tamu. Minta dibelikan rumah boneka Barbie. Aku pikir, kan, sayang uangnya. Sebentar lagi Karla pasti bosan. Dia kan sudah mulai besar. Masa' mau main boneka terus," suara Mama terdengar samar-samar. Lalu suara langkah kaki Paman Niko. Mama menutup kembali pintu depan. "Ho ho ho! Siapa itu, ngumpet di pojok sofa?" seru Paman Niko begitu melihat Karla yang melungkar di ujung sofa. Karla tersenyum senang. Ingin langsung menghambur ke gendongan Paman Niko seperti biasanya. Tapi ia merasa malu pada Mama. Masak baru saja ngambek, tahu-tahu sudah tertawa-tawa. Aduh, gengsi dong, pikir Karla. "Kenapa anak manis? Paman dengar, hari ini jadwal ngambek ya? Mau rumah boneka ya?" tanya Paman Niko dengan mimik lucu, sambil duduk di sebelah Karla. Karla mulai luluh, cair seperti es batu yang kena sinar matahari. Sementara Mama diam-diam pergi ke ruang makan dengan senyum lega menghiasi bibirnya. "Iya, Paman! Shiva dan Vidia sudah punya, cuma Karla yang belum. Paman Niko bikinkan, dong. Paman kan arsitek. Kalau bisa bikin rumah besar, pasti bisa bikin rumah kecil!" rajuk Karla manja. Paman Niko tertawa, perutnya yang besar terguncang-guncang. "Wah, justru bikin rumah-rumahan boneka itu lebih sulit. Harus ahli, soalnya detilnya kan kecil-kecil. Tapi Paman Niko punya 'rumah-rumahan' lain yang juga cantik, warna-warni, seperti rumah boneka. Malah lebih bagus. Kamu mau lihat tidak?" tawar Paman Niko. Karla mendongak, penasaran. Masa' sih ada rumah-rumahan yang lebih bagus dari rumah boneka? "Ah, yang benar Paman! Dimana?" tanya Karla penasaran. "Ada deh! Kalau Karla mau ikut, hari ini Paman kebetulan mau ke sana," jawab Paman Niko. "Mau, mau. Tapii....." Karla diam sejenak, menggigit bibir. Lalu meneruskan dengan suara pelan. "Apa diijinkan Mama?" "Lo, Karla belum tahu ya? Kan Mama yang telpon Paman, dan menyuruh mengajak kamu. Sekarang, pamit saja pada Mama, terus ganti baju," jawab Paman Niko dengan senyum mengembang. Karla tak ragu lagi, langsung terbang ke ruang makan, mencari Mama. "O iya. Jangan lupa bawa pensil warna atau krayon, ya, sekalian..." ujar Paman Niko lagi. Karla berbalik sebentar. "Lo, buat apa?" mimiknya terlihat bingung. "Ada deh! Sudah, cepat! Nanti juga kamu tahu..." Paman Niko menyipitkan sebelah matanya. Karla tersenyum, meski benaknya masih dipenuhi tanda tanya. Beberapa saat kemudian… Karla turun dari mobil Paman Niko dengan bingung. Karla mengamati keadaan sekelilingnya dengan seksama. Sementara Paman Niko mengisi rol film ke dalam kameranya. Di depannya adalah sebuah perkampungan kumuh, dengan dinding-dinding dari papan-papan bekas. Mobil mereka tadi sempat melewati tumpukan sampah setinggi bukit. Di situ ada beberapa orang laki-laki bertelanjang dada tampak memilah-milah sampah. Di situ terdapat juga pangkalan becak. Beberapa pengemudi becak sedang duduk-duduk di atas becak menunggu penumpang. "Ayo, Karla," ajak Paman Niko. Karla membuntut di belakang Paman Niko. Dengan ramah Paman Niko menyapa pengayuh-pengayuh becak itu. Mereka kelihatannya sudah akrab. Ternyata kampung itu berupa sebuah jalan setapak kecil. Di sisi-sisi jalan itu padat dengan rumah-rumah berdinding papan. Dindingnya di cat berwarna-warni oleh penghuninya. Yang mengherankan Karla, selain penduduk kampung yang sibuk hilir mudik melakukan kegiatannya, ada segerombolan remaja berpakaian kaos dan jeans. Dilihat dari penampilannya, mereka bukan penghuni kampung itu. "Mereka siapa, Paman?" tanya Karla heran. "Itu kakak-kakak mahasiswa jurusan arsitektur yang membantu penduduk mengecat kampung ini, Karla. Mereka juga yang mendekati para penduduk supaya mau mengecat rumahnya. Semua itu dalam rangka Jakart," jawab Paman Niko. "Apa sih Jakart itu, Paman?" tanya Karla polos. "Jakart itu festival seni besar yang diselenggarakan selama bulan Juni. Seniman-seniman di berbagai bidang ingin mengenalkan seni pada tiap lapisan masyarakat. Juga pada orang-orang yang tinggal di daerah kumuh seperti ini, Karla. Ini untuk memperingati ulang tahun Jakarta," urai Paman Niko panjang lebar. Karla mengangguk-angguk. Ia sangat bangga karena pamannya mempunyai perasaan sosial yang besar. Karla jadi malu sendiri ketika melihat anak-anak sebayanya harus tinggal di rumah sederhana. Padahal ia baru saja merengek minta dibelikan rumah boneka yang mahal pada mamanya. Seharusnya ia bersyukur tinggal di rumah yang bagus. Setiap hari ke sekolah diantar sopir, dan makan makanan enak. "Karla, belum pernah naik getek, kan?" tanya Paman Niko. Karla menggeleng. "Di belakang rumah-rumah ini ada kali kecil. Nanti kita ke seberang kali ya, naik getek," ujar Paman Niko. Karla mengangguk girang. Lalu ia dengan Paman Niko berjalan melintasi jalan setapak itu. Orang-orang yang bertemu mereka menyapa ramah. Sekitar lima puluh meter kemudian, di antara kepadatan rumah-rumah tersebut terlihat sebuah tempat lapang. Ujungnya seperti dermaga dari bilah-bilah papan. Ternyata benar kata Paman Niko. Di belakang rumah-rumah itu ada kali yang lebarnya kira-kira tiga belas meter. Airnya keruh berwarna coklat. Sebuah perahu kayu eretan bersandar di dermaga kecil. Pengemudinya tampak mengantuk. Yang unik, perahu itu tidak dikayuh. Ada tali di antara ujung perahu dan kabel yang terbentang di antara kedua sisi sungai. Jadi si pengemudi perahu tinggal mengeret perahunya menyeberangi sungai. Karla senang sekali, karena ini pengalamanan pertamanya menaiki perahu eretan. "Ujung sungai ini bermuara di Tanjung Priuk. Lihat tuh, dari sini kita bisa melihat jembatan layang Pluit. Nah, kampung ini sengaja dicat warna warni. Terutama yang menghadap jembatan layang itu. Supaya tamu-tamu yang baru datang dari bandara dan melintasi jembatan layang ini melihat pemandangan yang menarik," Paman Niko sibuk menjelaskan. "Apa nama kampung ini, Paman?" "Nama aslinya Kampung Tanggul Indah. Tapi nama proyeknya Kampung Berwarna," jawab Paman Niko. Dari seberang memang tampak rumah-rumah panggung di pinggir sungai itu mulai berwarna-warni. Ada beberapa kakak mahasiswa yang menggambari dindingnya dengan gambar bunga matahari, ikan mas koki yang manyun, Dinosaurus... Semuanya bagus. Jam lima sore, Paman Niko mengajak Karla pulang. Sebenarnya Karla masih betah di sana. Malah ia ingin membantu kakak-kakak mahasiswa mengecat kampung itu. "Kita sekarang pulang dulu. Besok Paman janji akan membawa kamu ke sini lagi. Besok kan ada lomba menggambar buat anak-anak kampung sini, kamu boleh ikut," ujar Paman Niko. Karla senang sekali. Besok mungkin ia akan mendapat teman-teman baru, menggambar bersama teman-teman baru. Itu tentu lebih menyenangkan dibanding main boneka sendirian di rumah. Beberapa kakak mahasiswa melambaikan tangan sambil bersenda gurau, ketika Paman Niko dan Karla pamit pulang. Karla sudah tidak sabar ingin menceritakan pengalamannya itu pada Papa dan Mama. Oh, tentu juga pada Vidya dan Shiva. Kini Karla tidak iri lagi pada mereka. Karla tidak akan pernah melupakan pengalamannya hari itu. Berkunjung ke kampung berwarna.
karya:Adila nurul ilma

silakan baca ceritaku!! untuk kamu yang suka baca!!

Label: ,

posted by Dila @ 02.37  
1 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
 
about me
Foto Saya
Nama:
Lokasi: duri, riau, Indonesia

orangnya kalem, agak cerewet, juga suka marah-marah, kalau rahasianya bocor langsung mukulin siapa yang bocorin rahasianya, kalau gak ada permintaannya yang gak dikabulkan dia mau ngancam gak boleh kemana mana selama 123 bulan, apa boleh buat, Dilla adalah anak kelas 2 SD yang lahir di:Jakarta, 2 maret, tahun 2000, hari ini belajarnyaa semakin kurang, hari ini rajin belajar ya!! kalau sudah blog ini dibuat janjilah pada mataharimu untuk belajar!!

Udah Lewat
Archives
sutbok
judul

>


Links
Template by